Rerajahan
merupakan budaya hindu, sebagai suatu produk lokal genius. Hal ini dapat
dilihat pada upacara Panca Yadnya, sarana pengobatan, ilmu panengen dan ilmu
pangiwa. Antara rerajahan, mantra dan tantra memiliki keterpaduan yang erat dan
saling mendukung di dalam membangkitkan kekuatan magis sebagai sarana
keselamatan.
Diceritakan di Desa Lara Sigaran
merupakan desa tua yang sebagian besar penduduknya sebagai petani. Dari hasil
pertanian inilah masyarakat desa tua itu makmur dan sejahtera. Suatu ketika
muncul masalah yang sangat mengganggu masyarakat, seperti panen padi yang gagal
dan banyak masyarakat yang meningggal secara tidak wajar serta kehidupan
masyarakat menjadi kacau. Hal inilah yang membuat tetua desa (penglingsir)
berdoa kepada ida sang hyang widhi wasa (tuhan yang maha esa), memohon
keselamatan dan kebahagiaan. Beberapa hari kemudian munculah petunjuk-petunjuk
yang diterima oleh tetua desa. Dari petunjuk tersebut, tetua desa bersama
masyarakat membuat rerajahan yang bertuliskan aksara suci yang mengandung
mantra dan tantra dengan sebutan Tumbal Tunggul sesuai dengan petunjuk yang
diterima.
Tumbal Tunggul merupakan perpaduan
aksara suci dengan wujud modre yang berbentuk abstrak. Tumbal Tunggul diyakini
oleh umat Hindu sebagai penolak Bala yang dipasang di pekarangan rumah sebagai
ulap-ulap, digambarkan dalam bentuk rerajahan dengan simbul raksasa. Semenjak
itu, Desa Lara Sigaran mulai menata kehidupannya dan berangsur-angsur membaik.
Tumbal Tunggul inilah yang menjadi tradisi umat Hindu dan diyakini serta
diwarisi secara turun temurun sebagai penolak bala dari hal-hal magis yang
bersifat negatif.
Berikut
adalah penggalan kisah yang diangkat menjadi ogoh-ogoh karya ST. Yowana Satya
Dharma dari banjar Bukit Buwung, Kesiman, Denpasar dengan judul “Tenung Gana”
Ketika dewi
uma berada di Gunung Maha Meru dengan Dewa Siwa berpura-pura sakit untuk
mengetahui seberapa kesetiaan dewi uma. Dewa Siwa mengutus Dewi Uma untuk
mencari susu Lembu, dalam pencariannya Dewi Uma menemukan orang yang
mengembalakan lembu yang tidak lain adalah Dewa Siwa yang sedang menyamar. Dewi
Uma mendekati pengembala lembu dan memohon belas kasihan agar pengembala
bersedia memberikan secangkir susu, namun si Pengembala menolak untuk
memberikan kecuali dengan satu syarat, yaitu Dewi Uma bersedia bersenggama
dengan si pengembala.Dewi uma menolaknya, namun karena teringat dengan ikrar
janji akan melakukan apapun untuk Dewa Siwa, Dewi Uma pun menyetujuinya tetapi
hanya bersedia di jamah di bagian kaki.
Ketika
sudah mendapatkan air susu lembu dan kembali ke kahyangan untuk menyerahkan
kepada Dewa Siwa, Dewi Uma melakukan kebohongan. Ia tidak menyebutkan dari mana
asal muasal lembu itu diperolehnya. Dewa Siwa mengetahui asal muasal Dewi Uma
mendapatkan air susu lembu itu, kemudian mengutus putranya Bhatara Gana untuk
meramal asal muasal susu lembu tsb, menggunakan pustaka tenung Aji Wariga.
Dengan pustaka itu Bhatara Gana membeberkan kebohongan yang dilakukan ibunya.
Medengar penjelasan dari Bhatara Gana seketika ilmu tenung Aji Wariga
dilenyapkan menjadi abu oleh api kemarahan Dewi Uma, akan tetapi dengan sigap
Bhatara Gana menyalin kembali pustaka yang dibakar tersebut sebagaimana
aslinya.
Melihat
ulah Dewi Uma yang telah berani membakar tenung aji Wariga dan berusaha
berbohong dalam memperoleh air susu lembu, menimbulkan kemarahan bagi Dewa
Siwa. Saat itulah Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma turun ke dunia menjelma menjadi
Dewi Dhurga. Dewa Siwa menyampaikan ajaran Pustaka Indraloka kalau Dewi Uma
mempunyai prilaku buruk maka sebaiknya turun ke dunia menjadi penghuni kuburan
dan disembah oleh semua manusia dan berstana di Pura Dalem. Dewi Dhurga bersama
pengikutnya 108 Bhuta-Bhuti ditugaskan untuk menyebarkan wabah penyakit kepada
manusia dan kepada binatang peliharaannya pada bulan Kasa sampai Sada dengan
berbagai jenis penyakit, menciptakan kekeringan, dan bencana di dunia. Akan
tetapi yang menjadi sasaran utama adalah manusia yang lupa untuk berbakti
kepada tuhan dan alam.
Penyakit
dan segala kebencanaan yang diciptakan oleh Dewi Dhurga dan pengikutnya bertujuan
untuk menyadarkan manusia untuk selalu ingat dan berbakti kepada tuhan, sebagai
cara untuk mengurangi gangguan yang ditimbulkan, maka dilakukan persembahan
Bhuta Yadnya. Selain itu Dewa Siwa juga mengingatkan bila manusia telah
menghanturkan caru berupa segehan agung untuk memohon ampun, hendaknya Dewi
juga memaafkan dengan memerintahkan kepada semua pasukan Bhuta-Bhuti untuk
menghentikan penyebaran penyakit.
Salah
satu dari Asta Dasa Parwa yaitu adi parwa (bab XVII (17) no. 366) yang
menceritakan Detya Sunda Upasunda yang gigih dengan tapa beratanya di Puncak
Gunung Windya dengan tujuan menguasai 3 alam (Bhur Loka, Bwah Loka, Swah Loka)
sehingga membuat para dewa di kahyangan menjadi khawatir. Hal tersebut membuat
dewa brahma meminta kepada dewa wiswakarma (sang arsitek surga) untuk
menciptakan seorang bidadari yang sangat cantik yang diciptakan dari bunga
Ratna dan Biji Wijen. Terciptalah seorang Bidadari Cantik yang bernama Dewi
TIlottama.
Dewi
Tilottama menjalankan tugasnya ke dunia untuk mengganggu tapa brata dan Detya
Sunda Upasunda. Dengan kecantikan dari Dewi Tilottama, kedua detya tersebut
sangat terpesona sehingga mengehentikan tapa bratanya untuk mendapatkan dewi
tilottama. Dalam memperebutkan Dewi tilottama Detya sunda-upasunda bertarung
secara mati-matian, atas kebohongan dan keangkuhan kedua detya yang ingin
menguasai segalanya, akhirnya menghantarkan kedua detya tersebut pada ajalnya.
Setelah
Dewi Tilottama berhasil menjalankan tugasnya maka dewi Tilottama mendapatkan
Wanugraha/ anugerah dari para dewa, karena Dewi Tilottama tercipta dari bunga
ratna atas jasa tersebut maka bunga ratna adalah bunga utama untuk memuja hyang
widhi dan para dewa dan sebagai bunga utama untuk kegiatan keagamaan.